B. Indonesia

Pertanyaan

rubahlah menjadi cerpen (cerita pendek)
rubahlah menjadi cerpen (cerita pendek)

1 Jawaban

  • Hujan Bulan JuniMungkin Sapardi Djoko Damono bukanlah nama yang asing bagi sebagian orang, begitu juga denganku. Banyak karya yang dihasilkannya, tapi satu karyanya yang menyangkut di hatiku “Hujan Bulan Juni.” Begitu mendengar kata itu, bayangan wanita berkerudung yang sering kulihat di mushola kampus terlintas di pikiranku. Entah apa hubungan wanita itu dengan “Hujan Bulan Juni” tetapi hatiku selalu ingin mengaitkannya.            Hari ini, dia keluar lagi dari mushola bersama teman-temannya. Dia memakai kerudung merah panjang dan menjinjing tas kecil berisi mukenah. Memandang wajahnya begitu damai. Entah setan mana yang menggodaku untuk terus memandanginya. Kali ini aku putuskan untuk mengikutinya, aku ingin tau fakultasnya.            Saat berada di fakultas hukum, tiga temanya memasuki salah satu ruang kelas, tetapi dia tetap berjalan sendiri. Aku masih terus mengikutinya dengan jarak yang cukup jauh. Tiba-tiba ia berbalik badan dan berjalan cepat menuju arahku, tubuhku mematung. Dia semakin dekat dan sekarang tepat di hadapanku.            “Maaf mas, ada perlu apa? Dari dua minggu yang lalu mas terus memperhatikan saya. “ Suara nya nan lembut membuatku tak bisa bergerak lagi.            “Maaf mbak, saya hanya .....”            “Sepertinya mas salah orang. Saya bukan perempuan yang aneh-aneh. Lebih baik mas menjauh.”            “Maaf mbak, saya gak bermaksud ..”  belum sempat kata-kata ku selesai, dia sudah pergi. Dan sekarang, lagi-lagi aku hanya mematung.            Dua hari setelah kejadian itu, aku tak pernah melihatmya lagi di Mushola kampus. Apa dia marah? Atau merasa tidak nyaman dengan tatapanku?  Dasar bodoh, berani-beraninya mengikuti dia. Umpatku dalam hati.            Siang itu, aku putuskan pergi ketokoh buku untuk menghilangkan rasa suntuk. Mungkin ada prosa, puisi, atau novel cinta untuk penyembuh lara hatiku.Rencana Tuhan sungguh indah, aku melihat Dia, wanita itu berkerudung merah seperti kemarin. Dia tertunduk didepan kasir.            “Maaf mbak, kami disini gak jual buku gratis. Masa iya mbak beli buku sebnyak ini lupa bawa uang.” Mbak kasir itu mengatakan nya dengan datar, tapi efeknya orang-orang tetap melihat aneh wanita itu.            Aku mengambil langkah berani. “Mbak ini dompet nya tadi ketinggalan di taksi .” aku memberi dompetku.            Dahinya mengkerut. Aku mengedipkan mataku. Dan tangannya meraih dompetku.            Ia mengambil beberapa lembar uang dari dompetku.  Dan segera membayar ke kasir,  wanita itu mengajak aku keluar sambil membawa buku-buku yang sudah dibayar.            Ia menundukkan kepalanya. “Terima kasih.” Sambil mengembalikan dompetku.            “Ya, sama-sama.”            Seketika gerimis deras mengguyur kami. Apakah ini yang namanya ‘Hujan Bulan Juni’ ?                Kami berteduh di depan tokoh buku bersama orang-orang lainnya karena gerimis deras telah berubah menjadi hujan.            “Sepertinya, hujannya masih lama.” Aku mencairkan suasana yang lengang.            “Hn.” Ia membuka buku dengan kumpulan karya Sapardi Djoko Damono dan suasana menjadi lengang kembali.            “Sekali lagi terima kasih ya. Uang mu akan segera kukembalikan,” ucap wanita itu dengan senyum kakunya.            “Tenang saja, kalau boleh tau. Siapa namamu.” Kata-kata itu spontan keluar dari mulutku. Tenaga yang terkumpul selama ini ternyata cukup. Terima kasih Tuhan.            “Anjani, panggil saja Jani. Kamu sendiri?”            “Rijal. Oh ya apa kamu mengagumi Sapardi?”            “Ya, apa kamu juga?, karyanya selalu indah.”            “Tentu saja. Aku jadi teringat salah satu puisinya di saat seperti ini.”            “Hujan Bulan Juni.” Ucap kami serempak dan saling tersenyum lebar.            “Saya suka puisi itu.” Kali ini matanya tertuju pada hujan.            “Saya juga, kebetulan ini bulan Juni.”            Matanya tidak tertuju pada hujan lagi, kali ini pada mataku. Tatapan kami saling bertemu menghasilkan sesuatu. Entah apa tapi aku menikmatinya. Matanya yang sendu membuat nafasku benar-benar tak ingin keluar. Lima detik berlalu, dia dan aku seakan sadar, perbuatan itu dilarang. Dia memalingkan wajahnya begitu juga dengan aku.            “Saya harus pergi. Hujannya sudah reda.” Anjani meninggalkanku begitu saja.            Esoknya ia mengembalikan uangku. Aku menerimanya dan langsung kumasukkan ke saku celanaku.            Jilbab hitam panjang yang menutupi sampai pergelangan tangannya membuatku ingin menatapnya.            Dia tersenyum. “Saya pamit Rijal.”            Aku mengangguk. Dia pergi. Apa cuman ini? tidak adakah adegan yang lebih romantis dari hari kemarin? Secepatnya aku buang jauh-jauh fikiran itu.            Aku merogoh sakuku, secarik kertas yang terlipat kecil jatuh. Aku buka. Aku rasa itu tulisannya.